Kamis, 28 Februari 2019

Postmo, Revolusi 4.0 dan Politik keindonesiaan kita

Oleh : Abdul A. Siolimbona

Beberapa hari ini masyarakat dihebohkan dengan munculnya video kampanye hitam (black campaign) yang dilakukan oleh beberapa emak-emak yang menjatuhkan salah satu pasangan CAPRES-CAWAPRES yang akan bertarung di PILPRES pada April mendatang. Kampanye hitam yang berisi kebohongan (hoax) akhir-akhir ini memang sedang menjadi ‘jalan pintas menuju kemenangan’. Penyebaran hoax ini diharapkan dapat membentuk opini negatif tentang sosok tertentu yang dianggap sebagai lawan politik sehingga akan menguntungkan pihak yang memproduksi kebohongan tersebut dan merugikan pihak yang dijadikan sasaran kebohongan. Sesuatu yang selama ini kita anggap amoral kini sudah menjadi bagian dari cara berdemokrasi.
***
47 tahun yang lalu, di Kota St. Louis, Missouri, Amerika Serikat, pada tanggal 15 Juli 1972, sekitar pukul 03. 32 sore waktu setempat, Rumah Pruitt-igoe dihancurkan. “Kehancuran bangunan yang menjadi simbol modernisme menjadi pertanda lahirnya postmodernisme”, begitulah ungkapan Charles Jenks, seorang tokoh perintis lahirnya postmodernisme. Oleh para pemikir, postmodernisme dianggap lahir sebagai alternatif atas gagalnya modernisme dalam menciptakan kebahagiaan bagi umat manusia. Karena semangat kelahirannya yang sedari awal ingin menjadi anti-tesa bagi kemapanan modernisme maka objektifitas pengetahuan yang menjadi watak modernisme harus segera diganti dengan subjektifitas. Semakin subjektif pandangan seseorang terhadap sesuatu maka semakin sempurna ‘maqom’ postmo seseorang. Kurang lebih begitulah prinsip dalam ajaran postmodernisme. “truth is subjectifity” seloroh Kierkegaard.
Subjektifitas sebagai cara pandang postmodernisme perlahan namun pasti merambah sisi demi sisi kehidupan manusia; budaya, sains, politik hingga agama. Kebenaran yang harusnya merujuk pada fakta (das solen) kini harus tunduk pada subjektifitas pemikiran manusia (das sein).
***
Indonesia saat ini tengah menyambut pesta demokrasi 5 tahunan, namun dunia perpolitikan Indonesia saat ini tengah tersegregasi menjadi 2 mazhab politik besar yaitu mazhab politik yang memproduksi wacana berdasarkan data dan fakta dan di satu sisi ada mazhab politik yang senang memproduksi wacana berdasarkan ilusi dan subjektifitas.
Berita bohong atau hoax adalah hasil dari subjektifitas yang hendak diwacanakan menjadi kebenaran, sebagaimana pandangan khas postmodernisme itu sendiri. Adolf Hitler menyatakan “kebohongan apabila disampaikan berulang-ulang maka akan diterima menjadi kebenaran”.
Pertanyaannya, apa dampak merebaknya postmodernisme dalam perpolitikan kita?
Yang bisa saya katakan adalah akan berdampak pada meningkatnya potensi konflik, baik konflik laten maupun konflik terbuka. Bayangkan, ketika setiap orang di negara berpenduduk lebih dari 260 juta jiwa ini memiliki keyakinan akan kebenaran berdasarkan subjektifitasnya masing-masing. Apalagi jika subjektifitas masing-masing orang hendak dipaksakan untuk diterima oleh orang lain, maka yang akan terjadi adalah konflik massif yang memporakporandakan kehidupan berbangsa kita.
Dalam era kemajuan IT atau Revolusi 4.0 seperti saat ini, suatu wacana akan dengan mudahnya disebarkan. Apalagi jika konten yang disebarkan itu berisi subjektifitas yang terlanjur dianggap sebagai kebenaran. Mungkin emak-emak yang tergabung dalam kelompok PEPES tak menyadari dampak dari kebohongan yang mereka sebarkan. Namun, kejadian ini menjadi bukti bahwa postmodernisme yang berwatak subjektif itu telah menjangkiti ranah perpolitikan tanah air sehingga tentu mengancam masa depan bangsa ini.
Semoga kita tetap bersaudara.
Semoga kita tetap Indonesia.
Salam Peradaban!