Oleh : Abdul Ajiz Siolimbona
Indonesia sebagai sebuah negara yang telah beberapa kali mengalami gejolak sosial sampai hari ini terus mencari bentuk idealnya dalam bernegara, hal ini penting untuk menciptakan kestabilan sosial demi terwujudnya kehidupan masyarakat yan lebih baik dimasa yang akan datang. Beberapa dinamika sosial yang selama ini terjadi tidak bisa dilepaspisahkan dari peran beberapa elemen masyarakat yang turut memberikan andil dalam setiap perubahan sosial (social exchange) yang terjadi, termasuk di dalamnya pemuda yang sering diwakili oleh kelompok mahasiswa.
Memisahkan mahasiswa dari setiap dinamika sosial yang terjadi di Indonesia adalah seperti memisahkan gerak sejarah dari lokomotif yang menggerakan roda sejarah itu. Thomas Carlyle pernah menyatakan bahwa sejarah peradaban manusia adalah biografi orang-orang besar, maka dalam konteks Indonesia, sejarah Indonesia merupakan biografi pergerakan mahasiswa Indonesia. hal ini ditandai dengan besarnya peran mahasiswa dalam setiap momentum-momentum penting perubahan sosial di Indonesia.
Namun belakangan, gerakan mahasiswa seperti telah kehilangan efektifitasnya terhadap problematika kebangsaan. Gerakan mahasiswa kekinian telah mengalami distorsi baik metodologi maupun tujuan idealnya. hal ini mulai terjadi pasca terjadinya gerakan reformasi tahun 1998 yang berhasil menumbangkan Suharto dari kursi kekuasaannya yang telah ia duduki selama kurang lebih 32 tahun.
Ini tentu menjadi peringatan keras bagi segenap elemen bangsa akan pentingnya menata kembali format gerakan sosial, utamanya yang dilakukan oleh mahasiswa sehingga fungsi pengawalan (agen of control) bisa tetap berjalan dengan baik dalam agenda pembangunan baik infrastruktur maupun suprastruktur.
Ketika mahasiswa sudah tak mampu lagi melakukan rekayasa sosial (social engineering) maka itu menjadi alarm bahwa bangsa ini telah kehilangan element controlnya yang dikatakan oleh bung Karno sebagai “penyambung lidah rakyat”. gerakan mahasiswa hari ini terlalu mudah ‘digembosi’ oleh pihak-pihak yang tidak senang dengan ketajaman nalar kritis mahasiswa.
Sedangkan para mahasiswa sendiri membangun gerakan tanpa basis ideologi yang utuh baik dari sudut pandang filosofis maupun sudut pandang sosiologis. Sehingga yang terjadi gerakan mahasiswa adalah gerakan tanpa “master plan” yang cenderung bersifat seremonial belaka.
Anarkisme dan brutalisme saat ini dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari setiap gerakan mahasiswa sehingga alih-alih mendapatkan simpati dari masyarakat, justru menuai kebencian dan antipati. Hal ini tentu menjadi anti klimaks dari sejarah panjang gerakan mahasiswa di Indonesia yang membawanya berada pada titik nadir terendah sepak terjang mahasiswa indonesia dalam konteks kebangsaan. Untuk itu perlu dilakukan penataan kembali (reformasi) gerakan mahasiswa sehingga bisa terus menjadi agen perubahan (agen of change) dan agen pembangunan (agen of development).
PERUBAHAN INTERNAL
Setiap agen perubahan haruslah memiliki seperangkat ideologi yang diperjuangkan,yang menjadi lokus sentrum gerakan dan spirit perjuangan. Ideologi yang diperjuangkan haruslah berupa sekumpulan nilai-nilai praktis yang cocok dan bisa diterima oleh segenap masyarakat Indonesia tanpa adanya diskriminasi kelas, suku dan agama sehingga nilai yang diusung dalam setiap jejak langkah gerakan mahasiswa revolusioner haruslah bersifat humanis. Jika ideologi suatu perjuangan berupa nilai-nilai yang sektarian, diskriminatif, ekslusif, dan bersifat elitis maka akan manuai penolakan dan akhirnya hanya akan menyulut konflik baru yang justeru merusak tatanan sosial yang telah ada.
Selain itu bentuk gerakan mahasiswa yang bertujuan untuk mewujudkan perubahan yang konstruktif di tengah masyarakat haruslah disesuaikan dengan tuntutan zaman. Saat ini gerakan perubahan sudah tidak relevan jika masih menggunakan cara-cara konvensional yang sudah tidak cocok untuk digunakan pada kondisi kekinian, sebagai contoh jika dulu sebelum reformasi bahkan sampai beberapa tahun belakangan ini gerakan mahasiswa cenderung menggunakan metode yang konfrontatif sehingga tak jarang terjadi chaos sehingga berujung pada benturan-benturan fisik, maka saat ini gerakan mahasiswa sudah harus mencari bentuknya yang baru yaitu cara yang sifatnya partisipatif dan dialogis.
Apalagi dengan diberlakukannya Masyarakat Ekonomi Asia (MEA) di tahun 2016 yang lalu maka peran mahasiswa kini menjadi lebih penting lagi yakni melakukan langkah-langkah edukasi terhadap masyarakat agar bisa menghadapi gelombang ekspansi pasar dari luar secara tepat dan bijak serta ekspansi ideologi yang mengancam kedaulatan bangsa. Jika format gerakan yang terus dipakai adalah bersifat konfrontatif serta ekslusif dari masyarakat maka justeru akan menuai kebencian dari masyarakat sehingga akan menjauhkan mahasiswa dari cita-cita idealnya.
Langkah-langkah edukasi yang bisa dilakukan adalah gerakan perubahan paradigmatik melalui, penulisan buku atau artikel-artikel yang bisa disebarkan melalui berbagai media, baik media sosial, media cetak maupun media elektronik. Selain itu gerakan yang langsung bersentuhan dengan masyarakat juga bisa menjadi salah satu format gerakan melalui berbagai macam pendampingan, pelatihan dan seminar serta dialog terbuka dengan masyarakat sehingga bisa menjadi ‘modal’ dalam menghadapi ekspansi ideologi dan persaingan industri terbuka dalam Mayarakat Ekonomi Asia (MEA).
PERUBAHAN EKSTERNAL
Secara eksternal mahasiswa harus diberikan keleluasaan dalam memproduksi gagasan dan ide-ide kreatif sampai pada tingkat pengaplikasiannya, tentu hal ini mensyaratkan kondisi lingkungan akademik yang mendukung proses tersebut. Untuk itu proses pengekangan terhadap kreatifitas mahasiswa dengan ancaman melalui berbagai regulasi yang sifatnya mengekang tentu sudah harus diganti karena hanya akan mematikan kreatifitas mahasiswa yang menjadi tumpuan pembangunan bangsa di masa yang akan datang.
Salah satu bentuk pengekangan itu adalah dengan menerapkan sistem DO (Drop Out) berdasarkan durasi waktu tertentu selama masa perkuliahan, Sistem DO ini tentu menjadi ancaman bagi setiap mahasiswa yang ingin mengasah nalar kritis dalam sebuah organisasi dan perkumpulan-perkumpulan kemahasiswaan melalui forum-forum diskusi maupun dialog dan seminar serta pelatihan-pelatihan lainnya. karena mereka dituntut untuk hanya fokus kepada bidang pengetahuan yang sedang mereka tekuni di kampus. Sistem pendidikan tinggi harus memberikan ruang yang cukup bagi mahasiswa untuk mengasah bukan saja kemampuan kognitif, tetapi juga harus mengasah kemampuan afektif dan juga psikomotorik.
Proses penyelenggaraan pendidikan di indonesia khususnya pendidikan tinggi hari ini masih bersifat “mekanistik” yaitu sistem pendidikan yang tidak holistik dan mengekang yang justeru jauh dari cita-cita pendidikan yakni memanusiakan manusia dengan fitrahnya yang merdeka, apalagi ditambah konten perkuliahan yang sangat minim berisi tentang ajaran-ajaran nasionalisme dan kebangsaan. Adapun mata kuliah bertema nasionalisme dan kebangsaan yang selama ini diajarkan hanya bersifat dogmatik bukan rasionalistik apalagi filosofis. Mahasiswa alih-alih menjadi agen yang mampu menetralisir pengaruh destruktif dari luar kepada masyarakat justeru menjadi rentan terpapar ideologi yang mengancam kedaulatan bangsa akibat metodologi pengajaran nilai-nilai kebangsaan selama ini yang tidak optimal.
Keberadaan lembaga-lembaga mahasiswa internal kampus seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Badan Legislatif Mahasiswa (BLM) dan Lembaga Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) selama ini dianggap belum efektif dirasakan manfaatnya selain hanya untuk pemenuhan kebutuhan akreditasi kampus. Mahasiswa masih dikekang dan dibatasi ruang geraknya melalui sistem DO sehingga berdampak pada hilangnya kepekaan sosial (social sensibility) mahasiwa terhadap dinamika kebangsaan. Masa depan bangsa ini ada di tangan generasi muda yang punya kepekaan sosial yang tinggi terhadap masyarakat, yang punya semangat nasionalisme, yang sensitif terhadap fenomena disekitar mereka dan kreatif dalam menyusun gagasan konstruktif sebagai solusi terhadap setiap problematika bangsa.
Pada majalah WASITA edisi desember 1928 jilid 1 no. 3 Ki Hadjar Dewantara menuliskan:
”Pengajaran nasional itulah pengajaran yang selaras dengan penghidupan bangsa (maatschappelijk) dan kehidupan bangsa (cultureel). Kalau pengajaran bagi anak-anak kita tidak berdasarkan kenasionalan, sudah tentu anak-anak kita tak akan mengetahui keperluan kita, lahir maupun batin; lagi pula tak mungkin anak-anak itu mempunyai rasa cinta bangsa dan makin lama makin terpisah dari bangsanya, kemudian barangkali menjadi lawan kita”.
Inilah sistem penidikan menurut Ki Hajar Dewantara yang bersifat humanistik yang mampu berperan sebagaimana yang contohkan oleh bapak-bapak pendiri bangsa yang masa studinya tidak menghalangi mereka memproduksi gagasan-gagasan bangsa yang menjadi spirit bagi rakyat untuk berjuang melawan penindasan, bahkan mereka ikut turun ke medan juang demi melawan penjajahan. Semoga kedepannya mahasiswa Indonesia kembali menjadi penggerak roda zaman bangsa ini untuk keluar dari berbagai probelamtika sosial yang ada sesuai amanah tridharma perguruan tinggi yakni Pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan serta pengabdian kepada masyarakat.
(tulisan ini pernah diterbitkan oleh Bone Pos edisi Senin, 25 Januari 2016).