Senin, 31 Desember 2018

Bencana Tsunami dan Surutnya Kepedulian Kita


Oleh : Abdul A. Siolimbona

Menjelang akhir tahun 2018 ini, masyarakat dunia dikejutkan oleh bencana tsunami yang kembali menerjang wilayah Lampung dan juga Banten. Ini adalah kesekian kalinya Tsunami terjadi di Indonesia. Seperti yang tercatat oleh Badan Sains Amerika Serikat, National Oceanic Atmospheric Administration (NOAA) menyebutkan telah terjadi 246 kali tsunami di Indonesia sejak tahun 416 sampai tahun 2018.
Tingginya intensitas tsunami di Indonesia selain diakibatkan oleh letusan gunung merapi seperti yang terjadi di Banten – Lampung, juga diakibatkan oleh pergerakan lempengan bumi. Secara geografis posisi Indonesia berada pada pertemuan 3  lempeng tektonik bumi yaitu Lempeng Eurasia, Indo-Australia dan Pasifik. Banyaknya Gunung Api aktif di Indonesia juga berdampak pada tingginya intensitas tsunami di Indonesia. Indonesia sendiri kelilingi oleh 130 buah gunung api. Takdir geografis Indonesia ini membuat negeri ini berada dalam wilayah yang yang biasa disebut Ring of Fire.

Pertemuan lempeng tektonik di Indonesia

Takdir geografis ini membuat Indonesia termasuk negara yang memiliki intensitas gunung meletus paling tinggi di dunia. Ketika gunung api meletus, letusan tersebut akan membawa  material keluar dalam jumlah jutaan ton dari mulut kawah gunung dan selanjutnya akan jatuh ke laut sehingga akan menciptakan gelombang besar. Selain itu, material yang terangkat dari bawah permukaan tanah juga dapat mengakibatkan longsor. Sedangkan jika gunung api berada di tengah laut maka longsor tersebut bisa saja terjadi di bawah laut sehingga mengakibatkan tsunami. Demikian pula ketika terjadi gesekan dan tumbukan antar lempeng bumi maka air laut akan terdorong ke atas sehingga membentuk gelombang yang sangat tinggi dan selanjutnya menuju pantai.

Mangrove  dan terumbu karang adalah benteng

Energy gelombang yang dihasilkan oleh tsunami tentu sangat besar dan dapat memporak-porandakan segala sesuatu yang dilaluinya. Untuk itu maka energi yang datang dari arah laut tersebut harus dapat diredam. Sejauh ini, dengan mengandalkan teknologi modern seperti alat pendeteksi tsunami  (Buoy) sekalipun, dampak kerusakan akibat tsunami masih cukup besar. Meskipun tujuan pembuatannya agar dapat menekan angka kematian, namun untuk kasus tsunami di Banten, alat peringatan tsunami tak bisa difungsikan sehingga korban yang berjatuhan tak bisa dihindari.
Jika perkembangan sains telah menyediakan alat pendeteksi tsunami, lain halnya dengan alam itu sendiri. Alam telah menyediakan caranya sendiri untuk meminimalisir dampak dari sebuah bencana seperti tsunami. Keberadaan mangrove dan terumbu karang di sepanjang pantai dan dasar perairan dapat meredam tingkat kerusakan yang diakibatkan oleh tsunami.
Akar-akar yang dimiliki oleh mangrove terbentuk sedemikian rupa sehingga dapat memecah gelombang yang datang. Akar tunjang yang berbetuk cakar ayam dapat berfungsi sebagai pemecah gelombang yang efektif. Selain akar gantung yang berbentuk cakar ayam, terdapat juga jenis mangrove yang memiliki akar papan dan akar napas (akar yang tumbuh ke atas) akar napas ini berfungsi sebagai alat untuk mendapatkan osigen, mengingat substrat lumpur yang menjadi tempat tumbuh jenis mangrove ini memiliki kandungan oksigen yang sangat minim.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pegembangan Kementrian Pertahanan Indonesia (BALITBANG DEPHAN RI) tentang dampak tsunami di Aceh pada tahun 2004 menyimpulkan bahwa tingginya kerusakan fisik dan jatuhnya korban jiwa sebagai dampak dari tsunami di Aceh pada tahun 2004 diakibatkan oleh minimnya jalur hijau dan tingginya kerusakan mangrove di sepanjang pantai barat Aceh.

Selain mangrove, terumbu karang juga bermanfaat sebagai peredam energy yang dihasilkan oleh tsunami. Keberadaan terumbu karang di dasar laut mampu menurunkan kekuatan gelombang di dasar perairan sehingga membantu mencegah kerusakan akibat tsunami. Semakin tinggi tingkat kepadatan terumbu karang maka gelombang akan cepat pecah sehingga sebelum sampai ke daratan energy dari gelombang tsunami sudah menurun secara signifikan.

Hutan mangrove dan terumbu karang

Fungsi fisik hutan mangrove dan terumbu karang dapat dimanfaatkan sebagai benteng pelindung pemukiman warga baik dari efek tsunami, maupun hempasan angin putting beliung, angin topan dan gelombang musiman. Untuk itu, keberadaan hutan mangrove dan terumbu karang perlu dijaga dan dilestarikan guna menghindari kerusakan fisik serta jatuhnya korban jiwa akibat hantaman tsunami.

Modal Kepedulian

Jika keberadaan alat pendeteksi tsunami membutuhkan biaya perawatan yang cukup mahal (mencapai Rp 150 juta/ hari) maka tidak demikian dengan keberadaan hutan mangrove dan terumbu karang. Kita hanya butuh kepedulian untuk membuatnya tetap lestari. Seperti yang diungkapkan gubernur Provinsi Banten, Rano Karno. 


Rano menyebut dari 570 kilometer panjang Pantai Banten, hanya 270 hektare yang tersisa untuk mangrove. Selebihnya telah berubah fungsi menjadi daerah industri dan wisata pantai”. 

Artinya, telah terjadi kerusakan hutan mangrove di sepanjang pantai Banten sebesar 60%. Sedangkan di sepanjang pantai Lampung kerusakan hutan mangrove mencapai 70%. Hal ini diungkapkan oleh Direktur Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Lampung. Kerusakan hutang mangrove di Lampung diakibatkan oleh tingginya penebangan mangrove untuk memenuhi kebutuan ladang tambak udang.

Kerusakan terumbu karang di lampung saat ini sudah mencapai lebih dari 30% seperti yang diungkapkan oleh Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung. sedangkan untuk Provinsi Banten, tingkat kerusakan terumbu karang mencapai hampir 45% dimana dari 1.433 hektare luas tutupan karang, 622 hektare telah mengalami kerusakan. Kerusakan terumbu karang sering diakibatkan oleh pencemaran limbah industri, pembuangan sampah secara sembarangan dan juga aktifitas diving dan snorkeling yang tidak ramah lingkungan.

Dari fenomena tersebut menjadi catatan bagi kita bersama bahwa kepedulian masayarakat Indonesia terhadap lingkungannya masih sangat rendah, utamanya masayarakat yang sudah tersentuh modernisasi akibat berkembangnya kota dan pemukiman. Rumusnya adalah tingginya angka korban materil dan non materil akibat suatu bencana berbanding terbalik dengan rasa kepedulian kita terhadap lingkungan. Atau bisa dikatakan, semakin rendah kepedulian kita kepada lingkungan, maka akan semakin tinggi dampak buruk yang diakibatkan oleh sebuah bencana alam (Natural disasters).
Pertanyaannya, masihkah kita akan acuh terhadap lingkungan? Silahkan dijawab sendiri…!

Sumber :
    http://detiklampung.com/berita-3972-terumbu-karang-di-lampung-rusak-30-persen.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar