Senin, 31 Desember 2018

Bencana Tsunami dan Surutnya Kepedulian Kita


Oleh : Abdul A. Siolimbona

Menjelang akhir tahun 2018 ini, masyarakat dunia dikejutkan oleh bencana tsunami yang kembali menerjang wilayah Lampung dan juga Banten. Ini adalah kesekian kalinya Tsunami terjadi di Indonesia. Seperti yang tercatat oleh Badan Sains Amerika Serikat, National Oceanic Atmospheric Administration (NOAA) menyebutkan telah terjadi 246 kali tsunami di Indonesia sejak tahun 416 sampai tahun 2018.
Tingginya intensitas tsunami di Indonesia selain diakibatkan oleh letusan gunung merapi seperti yang terjadi di Banten – Lampung, juga diakibatkan oleh pergerakan lempengan bumi. Secara geografis posisi Indonesia berada pada pertemuan 3  lempeng tektonik bumi yaitu Lempeng Eurasia, Indo-Australia dan Pasifik. Banyaknya Gunung Api aktif di Indonesia juga berdampak pada tingginya intensitas tsunami di Indonesia. Indonesia sendiri kelilingi oleh 130 buah gunung api. Takdir geografis Indonesia ini membuat negeri ini berada dalam wilayah yang yang biasa disebut Ring of Fire.

Pertemuan lempeng tektonik di Indonesia

Takdir geografis ini membuat Indonesia termasuk negara yang memiliki intensitas gunung meletus paling tinggi di dunia. Ketika gunung api meletus, letusan tersebut akan membawa  material keluar dalam jumlah jutaan ton dari mulut kawah gunung dan selanjutnya akan jatuh ke laut sehingga akan menciptakan gelombang besar. Selain itu, material yang terangkat dari bawah permukaan tanah juga dapat mengakibatkan longsor. Sedangkan jika gunung api berada di tengah laut maka longsor tersebut bisa saja terjadi di bawah laut sehingga mengakibatkan tsunami. Demikian pula ketika terjadi gesekan dan tumbukan antar lempeng bumi maka air laut akan terdorong ke atas sehingga membentuk gelombang yang sangat tinggi dan selanjutnya menuju pantai.

Mangrove  dan terumbu karang adalah benteng

Energy gelombang yang dihasilkan oleh tsunami tentu sangat besar dan dapat memporak-porandakan segala sesuatu yang dilaluinya. Untuk itu maka energi yang datang dari arah laut tersebut harus dapat diredam. Sejauh ini, dengan mengandalkan teknologi modern seperti alat pendeteksi tsunami  (Buoy) sekalipun, dampak kerusakan akibat tsunami masih cukup besar. Meskipun tujuan pembuatannya agar dapat menekan angka kematian, namun untuk kasus tsunami di Banten, alat peringatan tsunami tak bisa difungsikan sehingga korban yang berjatuhan tak bisa dihindari.
Jika perkembangan sains telah menyediakan alat pendeteksi tsunami, lain halnya dengan alam itu sendiri. Alam telah menyediakan caranya sendiri untuk meminimalisir dampak dari sebuah bencana seperti tsunami. Keberadaan mangrove dan terumbu karang di sepanjang pantai dan dasar perairan dapat meredam tingkat kerusakan yang diakibatkan oleh tsunami.
Akar-akar yang dimiliki oleh mangrove terbentuk sedemikian rupa sehingga dapat memecah gelombang yang datang. Akar tunjang yang berbetuk cakar ayam dapat berfungsi sebagai pemecah gelombang yang efektif. Selain akar gantung yang berbentuk cakar ayam, terdapat juga jenis mangrove yang memiliki akar papan dan akar napas (akar yang tumbuh ke atas) akar napas ini berfungsi sebagai alat untuk mendapatkan osigen, mengingat substrat lumpur yang menjadi tempat tumbuh jenis mangrove ini memiliki kandungan oksigen yang sangat minim.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pegembangan Kementrian Pertahanan Indonesia (BALITBANG DEPHAN RI) tentang dampak tsunami di Aceh pada tahun 2004 menyimpulkan bahwa tingginya kerusakan fisik dan jatuhnya korban jiwa sebagai dampak dari tsunami di Aceh pada tahun 2004 diakibatkan oleh minimnya jalur hijau dan tingginya kerusakan mangrove di sepanjang pantai barat Aceh.

Selain mangrove, terumbu karang juga bermanfaat sebagai peredam energy yang dihasilkan oleh tsunami. Keberadaan terumbu karang di dasar laut mampu menurunkan kekuatan gelombang di dasar perairan sehingga membantu mencegah kerusakan akibat tsunami. Semakin tinggi tingkat kepadatan terumbu karang maka gelombang akan cepat pecah sehingga sebelum sampai ke daratan energy dari gelombang tsunami sudah menurun secara signifikan.

Hutan mangrove dan terumbu karang

Fungsi fisik hutan mangrove dan terumbu karang dapat dimanfaatkan sebagai benteng pelindung pemukiman warga baik dari efek tsunami, maupun hempasan angin putting beliung, angin topan dan gelombang musiman. Untuk itu, keberadaan hutan mangrove dan terumbu karang perlu dijaga dan dilestarikan guna menghindari kerusakan fisik serta jatuhnya korban jiwa akibat hantaman tsunami.

Modal Kepedulian

Jika keberadaan alat pendeteksi tsunami membutuhkan biaya perawatan yang cukup mahal (mencapai Rp 150 juta/ hari) maka tidak demikian dengan keberadaan hutan mangrove dan terumbu karang. Kita hanya butuh kepedulian untuk membuatnya tetap lestari. Seperti yang diungkapkan gubernur Provinsi Banten, Rano Karno. 


Rano menyebut dari 570 kilometer panjang Pantai Banten, hanya 270 hektare yang tersisa untuk mangrove. Selebihnya telah berubah fungsi menjadi daerah industri dan wisata pantai”. 

Artinya, telah terjadi kerusakan hutan mangrove di sepanjang pantai Banten sebesar 60%. Sedangkan di sepanjang pantai Lampung kerusakan hutan mangrove mencapai 70%. Hal ini diungkapkan oleh Direktur Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Lampung. Kerusakan hutang mangrove di Lampung diakibatkan oleh tingginya penebangan mangrove untuk memenuhi kebutuan ladang tambak udang.

Kerusakan terumbu karang di lampung saat ini sudah mencapai lebih dari 30% seperti yang diungkapkan oleh Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung. sedangkan untuk Provinsi Banten, tingkat kerusakan terumbu karang mencapai hampir 45% dimana dari 1.433 hektare luas tutupan karang, 622 hektare telah mengalami kerusakan. Kerusakan terumbu karang sering diakibatkan oleh pencemaran limbah industri, pembuangan sampah secara sembarangan dan juga aktifitas diving dan snorkeling yang tidak ramah lingkungan.

Dari fenomena tersebut menjadi catatan bagi kita bersama bahwa kepedulian masayarakat Indonesia terhadap lingkungannya masih sangat rendah, utamanya masayarakat yang sudah tersentuh modernisasi akibat berkembangnya kota dan pemukiman. Rumusnya adalah tingginya angka korban materil dan non materil akibat suatu bencana berbanding terbalik dengan rasa kepedulian kita terhadap lingkungan. Atau bisa dikatakan, semakin rendah kepedulian kita kepada lingkungan, maka akan semakin tinggi dampak buruk yang diakibatkan oleh sebuah bencana alam (Natural disasters).
Pertanyaannya, masihkah kita akan acuh terhadap lingkungan? Silahkan dijawab sendiri…!

Sumber :
    http://detiklampung.com/berita-3972-terumbu-karang-di-lampung-rusak-30-persen.html

Senin, 05 November 2018

Seni dan Peradaban Manusia




Sumber : Tirto.id

Oleh : Kahar Khalik

Seni adalah sesuatu yang tidak asing lagi di telinga semua khalayak. Seni telah menjadi gaya hidup bagi masyarakat, baik sadar maupun tidak, karena seni adalah hasil dari pengejawantahan suatu kebudayaan  yang dapat ditemui dalam suatu masyarakat.
Seni menurut sastrawan Rusia Leo Tolstoi (1828-1910) adalah ungkapan perasaan seniman yang disampaikan kepada orang lain agar mereka dapat merasakan apa yang dirasakannya.  Sedangkan di Indonesia seni berasal dari bahasa Sansakerta yaitu sani yang berarti penyembahan.

Pendefenisian seni memang sangat beragam, karena seni tidak hanya menyangkut apa yang kita indrai tetapi juga tentang apa yang tak terindrai. Sedangkan pendefinisian dari berbagai tokoh tergantung dari sudut pandang mana dia melihat seni. Seni sendiri dalam pembagian ilmu filsafat masuk kategori aksiologi tentang nilai bagian dari estetika. 

Pergolakan tentang pemaknaan seni telah terjadi jauh sekitar 4-3 abad SM. Dimulai dari pandangan Plato tentang seni yang menurutnya adalah tiruan alam idea, seni harus merupakan ekspresi bentuk dari alam kebaikan dan keindahan. Di abad yang sama muridnya, Aristoteles juga mengemukakan pendapatnya tentang seni yang menurutnya seni itu tiruan alam dunia nyata bukan tiruan alam idea. Buah pemikiran dari Kedua pemikir ini terus berdealektika. Di abad 18 dan 19 pemikiran Plato didukung oleh kaum romantisisme dan pemikiran Aristoteles didukung oleh kaum naturalisme sehingga kedua kubu ini belakangan dikenal sebagai kaum idealism (Plato) dan realism (Aristo).

Seni pada dasarnya kita biasa temukan dalam bentuk artefak, lukisan, logam, arsitektur, kayu, dan rangkaian bunyi-bunyian. Di abad sekarang kita biasa temukan dalam bentuk film. Selain yang terindrai, seni juga mengekspresikan apa yang tidak terindrai seperti pemikiran dan keyakinan terhadap nilai yang terkandung dalam masyarakatnya;
Setiap karya seni sedikit banyaknya mencerminkan tempat seni itu diciptakan, sedangkan suatu karya seni tidak mungkin tercipta tanpa seorang seniman. Seniman dalam mencipta karya seninya juga berdasarkan rangsangan dari masyarakat tempat dia mencipta karya seni atau dengan kata lain seniman mencipta karyanya berdasarkan teks atau karya seni yang pernah dikenal sebelumnya dan itu cerminan dalam suatu masyarakat. Maka dari itu, mengetahui tempat di mana sang seniman itu mencipta karya seninya juga cukup penting agar kedalaman makna karyanya dapat terungkap.

Tetapi pekerjaan ini sangat sulit karena di dalam suatu peradaban terdapat banyak sekali golongan-golongan dan teori-teori yang berkembang didalamnya. Jadi apa yang harus kita ketahui untuk mengidentifikasi karyanya? yaitu nilai universal yang terkandung dalam masyarakatnya atau  konsep-konsep, ajaran-ajaran yang berlaku secara umum dan diterima oleh seluruh masyarakat dalam peradaban itu. Konsep atau ajaran ini oleh para ahli disebut sebagai ideologi. Jadi, seniman itu mencipta karya seni berdasarkan ideologi apa yang dia anutnya.

Seni sebagai produk peradaban
karya seni yang otentik meskipun berasal dari individu atau  masyarakat, melukiskan jiwa atau roh peradabannya yang mengandung nilai yang universal yang dapat diterima secara umum dengan fungsi seni apapun. Fungsi seni ini tergantung ideologi apa yang berlaku dalam peradaban itu. Jika masyarakat itu menganut ideologi materialistik, maka seni yang dihasilkan oleh peradaban itu adalah seni yang berfokus pada materi juga dimana tujuannya untuk kesenangan duniawi, hedon dan tidak lebih pada kepentingan jasmaniahnya saja. Berbeda dengan seni yang tercipta dari peradaban yang berideologi metafisis yang mengandung nilai-nilai spiritual. Maka, fungsi seninya tidak hanya berfokus pada jasadiahnya saja tetapi juga memperhatikan batinnya. 

Pengaruh produk seni terhadap suatu peradaban
Peradaban juga dapat dipengaruhi oleh suatu produk seni dari suatu peradaban bahkan dapat digunakan untuk meruntuhkan suatu peradaban yang telah berdiri dan menggantikannya dengan peradaban yang sesuai dengan ideologi dari produk seni yang ditawarkan. Seperti yang terjadi di abad pertengahan ketika Nasrani menguasai Romawi. Dimana sebelum penguasaan gereja terhadap Romawi seniman melukiskan tentang para dewa tetapi setelah masuk ajaran nasrani seniman dituntut melukiskan tentang (Simbol ajaran) nasrani dan yesus. Sejarah ini disebut sebagai zaman kegelapan oleh para seniman dan ilmuan yang juga sebagai salah satu pemicu munculnya zaman Renaisance yang dikenal sebagai zaman pencerahan.

Pengaruh produk seni juga terjadi di Indonesia ketika para wali datang untuk mengislamkan Jawa mereka  mengunakan seni wayang kulit dengan syair dan cerita yang berasal dari islam sebagai medianya untuk menyampaikan ideologinya yang penuh sarat makna dan spiritual.
Ketika kita membaca berbagai peristiwa ini kita mendapati bahwa  tugas utama seniman tidak hanya sebagai penghasil karya semata tetapi juga sebagai pengkritik terhadap ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat, sebagai pembentuk propaganda tentang hidup sebagaimana adanya dan juga sebagai pencerah terhadap hidup sebagaimana mestinya.

Di zaman Millenial ini Karya seni terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi. Seni tidak hanya dijadikan sebagai alat pajangan semata tetapi juga dijadikan sebagai alat propaganda suatu peradaban terhadap peradaban lainnya. Karena seni adalah hasil dari ideologi suatu peradaban yang tidak dapat dipisahkan dengan masyarakatnya, maka untuk menguasai suatu peradaban dapat dilakukan dengan menawarkan produk seni yang sesuai dengan ideologi sang penguasa. Jika produk seni itu telah senangi dan diterima oleh suatu peradaban maka disitulah letak awal mula peradaban itu dijajah oleh sang pemilik produk seni tersebut. 

Sejalan dengan permasalahan di atas maka para pemikir dan seniman pada zaman millenial ini, mencoba menciptakan suatu produk seni yang dapat menguasai suatu kebudayaan tanpa disadari oleh pemilik peradaban itu sendiri. Dimana kejadian seperti ini disebut sebagai masa perang kebudayaan.
Lalu bagaimana dengan bangsa Indonesia dalam menghadapi perang kebudayaan ini? bagaimana kita mampu mempertahankan peradaban kita di era millenial ini?

Sebagai generasi penerus bangsa inidonesia kita tak bisa acuh akan peristiwa ini kita harus mengambil sikap untuk mempertahankan kebudayaan  bangsa kita dari berbagai serangan yang mendekatinya. Karena suatu produk seni itu lahir dari ideologi  sang senimannya maka langkah awal yang harus kita lakukan yaitu mempelajari dan  memperkuat ideologi kita sendiri yaitu ideology pancasila. Kenapa harus mempelajari dan memperkuat ideologi Pancasila? Ya karena dengan kuatnya ideologi kita dengan otomatis akan membentengi kita dari serangan ideologi-ideologi yang coba mempengaruhi bangsa kita lewat produk seninya. Bagaimana memperkuat ideologi Pancasila yaitu dengan mempelajari pandangan hidup dan epistemology yang ada didalamnya.

Salam Peradaban.

Refrensi :
Nasr, Sayyed Hossein. 1987, spiritualitas dan seni islam. Mizan :Bandung.
Sumarjdo, Jakob. 2000, Filsafat Seni, penerbit ITB: Bandung
Sunarto. 2016, Estetika Musik, Tafa Media: Yogyakarta
Sunarto. 2017, Sosiologi music, Tafa Media: Yogyakarta

Rabu, 10 Oktober 2018

Gerakan Mahasiswa Dalam Tantangan Zaman


Oleh : Abdul Ajiz Siolimbona
Indonesia sebagai sebuah negara yang telah beberapa kali mengalami gejolak sosial sampai hari ini terus mencari bentuk idealnya dalam bernegara, hal ini penting untuk menciptakan kestabilan sosial demi terwujudnya kehidupan masyarakat yan lebih baik dimasa yang akan datang. Beberapa dinamika sosial yang selama ini terjadi tidak bisa dilepaspisahkan dari peran beberapa elemen masyarakat yang turut memberikan andil dalam setiap perubahan sosial (social exchange) yang terjadi, termasuk di dalamnya pemuda yang sering diwakili oleh kelompok mahasiswa.
Memisahkan mahasiswa dari setiap dinamika sosial yang terjadi di Indonesia adalah seperti memisahkan gerak sejarah dari lokomotif yang menggerakan roda sejarah itu. Thomas Carlyle pernah menyatakan bahwa sejarah peradaban manusia adalah biografi orang-orang besar, maka dalam konteks Indonesia, sejarah Indonesia merupakan biografi pergerakan mahasiswa Indonesia. hal ini ditandai dengan besarnya peran mahasiswa dalam setiap momentum-momentum penting perubahan sosial di Indonesia.
Namun belakangan, gerakan mahasiswa seperti telah kehilangan efektifitasnya terhadap problematika kebangsaan. Gerakan mahasiswa kekinian telah mengalami distorsi baik metodologi maupun tujuan idealnya. hal ini mulai terjadi pasca terjadinya gerakan reformasi tahun 1998 yang berhasil menumbangkan Suharto dari kursi kekuasaannya yang telah ia duduki selama kurang lebih 32 tahun.
Ini tentu menjadi peringatan keras bagi segenap elemen bangsa akan pentingnya menata kembali format gerakan sosial, utamanya yang dilakukan oleh mahasiswa sehingga fungsi pengawalan (agen of control) bisa tetap berjalan dengan baik dalam agenda pembangunan baik infrastruktur maupun suprastruktur.
Ketika mahasiswa sudah tak mampu lagi melakukan rekayasa sosial (social engineering) maka itu menjadi alarm bahwa bangsa ini telah kehilangan element controlnya yang dikatakan oleh bung Karno sebagai “penyambung lidah rakyat”. gerakan mahasiswa hari ini terlalu mudah ‘digembosi’ oleh pihak-pihak yang tidak senang dengan ketajaman nalar kritis mahasiswa.
Sedangkan para mahasiswa sendiri membangun gerakan tanpa basis ideologi yang utuh baik dari sudut pandang filosofis maupun sudut pandang sosiologis. Sehingga yang terjadi gerakan mahasiswa adalah gerakan tanpa “master plan” yang cenderung bersifat seremonial belaka.
Anarkisme dan brutalisme saat ini dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari setiap gerakan mahasiswa sehingga alih-alih mendapatkan simpati dari masyarakat, justru menuai kebencian dan antipati. Hal ini tentu menjadi anti klimaks dari sejarah panjang gerakan mahasiswa di Indonesia yang membawanya berada pada titik nadir terendah sepak terjang mahasiswa indonesia dalam konteks kebangsaan. Untuk itu perlu dilakukan penataan kembali (reformasi) gerakan mahasiswa sehingga bisa terus menjadi agen perubahan (agen of change) dan agen pembangunan (agen of development).
PERUBAHAN INTERNAL
Setiap agen perubahan haruslah memiliki seperangkat ideologi yang diperjuangkan,yang menjadi lokus sentrum gerakan dan spirit perjuangan. Ideologi yang diperjuangkan haruslah berupa sekumpulan nilai-nilai praktis yang cocok dan bisa diterima oleh segenap masyarakat Indonesia tanpa adanya diskriminasi kelas, suku dan agama sehingga nilai yang diusung dalam setiap jejak langkah gerakan mahasiswa revolusioner haruslah bersifat humanis. Jika ideologi suatu perjuangan berupa nilai-nilai yang sektarian, diskriminatif, ekslusif, dan bersifat elitis maka akan manuai penolakan dan akhirnya hanya akan menyulut konflik baru yang justeru merusak tatanan sosial yang telah ada.
Selain itu bentuk gerakan mahasiswa yang bertujuan untuk mewujudkan perubahan yang konstruktif di tengah masyarakat haruslah disesuaikan dengan tuntutan zaman. Saat ini gerakan perubahan sudah tidak relevan jika masih menggunakan cara-cara konvensional yang sudah tidak cocok untuk digunakan pada kondisi kekinian, sebagai contoh jika dulu sebelum reformasi bahkan sampai beberapa tahun belakangan ini gerakan mahasiswa cenderung menggunakan metode yang konfrontatif sehingga tak jarang terjadi chaos sehingga berujung pada benturan-benturan fisik, maka saat ini gerakan mahasiswa sudah harus mencari bentuknya yang baru yaitu cara yang sifatnya partisipatif dan dialogis.
Apalagi dengan diberlakukannya Masyarakat Ekonomi Asia (MEA) di tahun 2016 yang lalu maka peran mahasiswa kini menjadi lebih penting lagi yakni melakukan langkah-langkah edukasi terhadap masyarakat agar bisa menghadapi gelombang ekspansi pasar dari luar secara tepat dan bijak serta ekspansi ideologi yang mengancam kedaulatan bangsa. Jika format gerakan yang terus dipakai adalah bersifat konfrontatif serta ekslusif dari masyarakat maka justeru akan menuai kebencian dari masyarakat sehingga akan menjauhkan mahasiswa dari cita-cita idealnya.
Langkah-langkah edukasi yang bisa dilakukan adalah gerakan perubahan paradigmatik melalui, penulisan buku atau artikel-artikel yang bisa disebarkan melalui berbagai media, baik media sosial, media cetak maupun media elektronik. Selain itu gerakan yang langsung bersentuhan dengan masyarakat juga bisa menjadi salah satu format gerakan melalui berbagai macam pendampingan, pelatihan dan seminar serta dialog terbuka dengan masyarakat sehingga bisa menjadi ‘modal’ dalam menghadapi ekspansi ideologi dan persaingan industri terbuka dalam Mayarakat Ekonomi Asia (MEA).
PERUBAHAN EKSTERNAL
Secara eksternal mahasiswa harus diberikan keleluasaan dalam memproduksi gagasan dan ide-ide kreatif sampai pada tingkat pengaplikasiannya, tentu hal ini mensyaratkan kondisi lingkungan akademik yang mendukung proses tersebut. Untuk itu proses pengekangan terhadap kreatifitas mahasiswa dengan ancaman melalui berbagai regulasi yang sifatnya mengekang tentu sudah harus diganti karena hanya akan mematikan kreatifitas mahasiswa yang menjadi tumpuan pembangunan bangsa di masa yang akan datang.
Salah satu bentuk pengekangan itu adalah dengan menerapkan sistem DO (Drop Out) berdasarkan durasi waktu tertentu selama masa perkuliahan, Sistem DO ini tentu menjadi ancaman bagi setiap mahasiswa yang ingin mengasah nalar kritis dalam sebuah organisasi dan perkumpulan-perkumpulan kemahasiswaan melalui forum-forum diskusi maupun dialog dan seminar serta pelatihan-pelatihan lainnya. karena mereka dituntut untuk hanya fokus kepada bidang pengetahuan yang sedang mereka tekuni di kampus. Sistem pendidikan tinggi harus memberikan ruang yang cukup bagi mahasiswa untuk mengasah bukan saja kemampuan kognitif, tetapi juga harus mengasah kemampuan afektif dan juga psikomotorik.
Proses penyelenggaraan pendidikan di indonesia khususnya pendidikan tinggi hari ini masih bersifat “mekanistik” yaitu sistem pendidikan yang tidak holistik dan mengekang yang justeru jauh dari cita-cita pendidikan yakni memanusiakan manusia dengan fitrahnya yang merdeka, apalagi ditambah konten perkuliahan yang sangat minim berisi tentang ajaran-ajaran nasionalisme dan kebangsaan. Adapun mata kuliah bertema nasionalisme dan kebangsaan yang selama ini diajarkan hanya bersifat dogmatik bukan rasionalistik apalagi filosofis. Mahasiswa alih-alih menjadi agen yang mampu menetralisir pengaruh destruktif dari luar kepada masyarakat justeru menjadi rentan terpapar ideologi yang mengancam kedaulatan bangsa akibat metodologi pengajaran nilai-nilai kebangsaan selama ini yang tidak optimal.
Keberadaan lembaga-lembaga mahasiswa internal kampus seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Badan Legislatif Mahasiswa (BLM) dan Lembaga Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) selama ini dianggap belum efektif dirasakan manfaatnya selain hanya untuk pemenuhan kebutuhan akreditasi kampus. Mahasiswa masih dikekang dan dibatasi ruang geraknya melalui sistem DO sehingga berdampak pada hilangnya kepekaan sosial (social sensibility) mahasiwa terhadap dinamika kebangsaan. Masa depan bangsa ini ada di tangan generasi muda yang punya kepekaan sosial yang tinggi terhadap masyarakat, yang punya semangat nasionalisme, yang sensitif terhadap fenomena disekitar mereka dan kreatif dalam menyusun gagasan konstruktif sebagai solusi terhadap setiap problematika bangsa.
Pada majalah WASITA edisi desember 1928 jilid 1 no. 3 Ki Hadjar Dewantara menuliskan:
”Pengajaran nasional itulah pengajaran yang selaras dengan penghidupan bangsa (maatschappelijk) dan kehidupan bangsa (cultureel). Kalau pengajaran bagi anak-anak kita tidak berdasarkan kenasionalan, sudah tentu anak-anak kita tak akan mengetahui keperluan kita, lahir maupun batin; lagi pula tak mungkin anak-anak itu mempunyai rasa cinta bangsa dan makin lama makin terpisah dari bangsanya, kemudian barangkali menjadi lawan kita”.
Inilah sistem penidikan menurut Ki Hajar Dewantara yang bersifat humanistik yang mampu berperan sebagaimana yang contohkan oleh bapak-bapak pendiri bangsa yang masa studinya tidak menghalangi mereka memproduksi gagasan-gagasan bangsa yang menjadi spirit bagi rakyat untuk berjuang melawan penindasan, bahkan mereka ikut turun ke medan juang demi melawan penjajahan. Semoga kedepannya mahasiswa Indonesia kembali menjadi penggerak roda zaman bangsa ini untuk keluar dari berbagai probelamtika sosial yang ada sesuai amanah tridharma perguruan tinggi yakni Pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan serta pengabdian kepada masyarakat.
(tulisan ini pernah diterbitkan oleh Bone Pos edisi Senin, 25 Januari 2016).