Oleh : Abdul A. Siolimbona
Menjelang
akhir tahun 2018 ini, masyarakat dunia dikejutkan oleh bencana tsunami yang kembali menerjang wilayah Lampung
dan juga Banten. Ini adalah kesekian kalinya Tsunami terjadi di Indonesia.
Seperti yang tercatat oleh Badan Sains Amerika Serikat, National Oceanic Atmospheric Administration (NOAA) menyebutkan
telah terjadi 246 kali tsunami di Indonesia sejak tahun 416 sampai tahun 2018.
Tingginya
intensitas tsunami di Indonesia selain diakibatkan oleh letusan gunung merapi seperti
yang terjadi di Banten – Lampung, juga diakibatkan oleh pergerakan lempengan
bumi. Secara geografis posisi Indonesia berada pada pertemuan 3 lempeng tektonik bumi yaitu Lempeng Eurasia,
Indo-Australia dan Pasifik. Banyaknya Gunung Api aktif di Indonesia juga
berdampak pada tingginya intensitas tsunami di Indonesia. Indonesia sendiri
kelilingi oleh 130 buah gunung api. Takdir geografis Indonesia ini membuat
negeri ini berada dalam wilayah yang yang biasa disebut Ring of Fire.
Pertemuan lempeng tektonik di Indonesia |
Takdir geografis
ini membuat Indonesia termasuk negara yang memiliki intensitas gunung meletus
paling tinggi di dunia. Ketika gunung api meletus, letusan tersebut akan
membawa material keluar dalam jumlah
jutaan ton dari mulut kawah gunung dan selanjutnya akan jatuh ke laut sehingga
akan menciptakan gelombang besar. Selain itu, material yang terangkat dari
bawah permukaan tanah juga dapat mengakibatkan longsor. Sedangkan jika gunung
api berada di tengah laut maka longsor tersebut bisa saja terjadi di bawah laut
sehingga mengakibatkan tsunami. Demikian pula ketika terjadi gesekan dan
tumbukan antar lempeng bumi maka air laut akan terdorong ke atas sehingga membentuk
gelombang yang sangat tinggi dan selanjutnya menuju pantai.
Mangrove dan terumbu karang adalah benteng
Energy
gelombang yang dihasilkan oleh tsunami tentu sangat besar dan dapat
memporak-porandakan segala sesuatu yang dilaluinya. Untuk itu maka energi yang
datang dari arah laut tersebut harus dapat diredam. Sejauh ini, dengan mengandalkan
teknologi modern seperti alat pendeteksi tsunami (Buoy)
sekalipun, dampak kerusakan akibat tsunami masih cukup besar. Meskipun tujuan
pembuatannya agar dapat menekan angka kematian, namun untuk kasus tsunami di
Banten, alat peringatan tsunami tak bisa difungsikan sehingga korban yang
berjatuhan tak bisa dihindari.
Jika perkembangan
sains telah menyediakan alat pendeteksi tsunami, lain halnya dengan alam itu
sendiri. Alam telah menyediakan caranya sendiri untuk meminimalisir dampak dari
sebuah bencana seperti tsunami. Keberadaan mangrove
dan terumbu karang di sepanjang pantai dan dasar perairan dapat meredam tingkat
kerusakan yang diakibatkan oleh tsunami.
Akar-akar
yang dimiliki oleh mangrove terbentuk
sedemikian rupa sehingga dapat memecah gelombang yang datang. Akar tunjang yang
berbetuk cakar ayam dapat berfungsi sebagai pemecah gelombang yang efektif. Selain
akar gantung yang berbentuk cakar ayam, terdapat juga jenis mangrove yang
memiliki akar papan dan akar napas (akar yang tumbuh ke atas) akar napas ini
berfungsi sebagai alat untuk mendapatkan osigen, mengingat substrat lumpur yang
menjadi tempat tumbuh jenis mangrove ini memiliki kandungan oksigen yang sangat
minim.
Sebuah studi
yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pegembangan Kementrian Pertahanan
Indonesia (BALITBANG DEPHAN RI) tentang dampak tsunami di Aceh pada tahun 2004
menyimpulkan bahwa tingginya kerusakan fisik dan jatuhnya korban jiwa sebagai
dampak dari tsunami di Aceh pada tahun 2004 diakibatkan oleh minimnya jalur
hijau dan tingginya kerusakan mangrove di sepanjang pantai barat Aceh.
Selain mangrove, terumbu karang juga bermanfaat
sebagai peredam energy yang dihasilkan oleh tsunami. Keberadaan terumbu karang
di dasar laut mampu menurunkan kekuatan gelombang di dasar perairan sehingga
membantu mencegah kerusakan akibat tsunami. Semakin tinggi tingkat kepadatan
terumbu karang maka gelombang akan cepat pecah sehingga sebelum sampai ke
daratan energy dari gelombang tsunami sudah menurun secara signifikan.
Hutan mangrove dan terumbu karang |
Fungsi fisik
hutan mangrove dan terumbu karang
dapat dimanfaatkan sebagai benteng pelindung pemukiman warga baik dari efek
tsunami, maupun hempasan angin putting beliung, angin topan dan gelombang
musiman. Untuk itu, keberadaan hutan mangrove
dan terumbu karang perlu dijaga dan dilestarikan guna menghindari kerusakan
fisik serta jatuhnya korban jiwa akibat hantaman tsunami.
Modal Kepedulian
Jika
keberadaan alat pendeteksi tsunami membutuhkan biaya perawatan yang cukup mahal
(mencapai Rp 150 juta/ hari) maka tidak demikian dengan keberadaan hutan
mangrove dan terumbu karang. Kita hanya butuh kepedulian untuk membuatnya tetap
lestari. Seperti yang
diungkapkan gubernur
Provinsi Banten, Rano Karno.
“Rano menyebut dari 570 kilometer panjang Pantai Banten, hanya 270 hektare yang tersisa untuk mangrove. Selebihnya telah berubah fungsi menjadi daerah industri dan wisata pantai”.
Artinya, telah terjadi kerusakan hutan mangrove di sepanjang pantai Banten sebesar 60%. Sedangkan di sepanjang pantai Lampung kerusakan hutan mangrove mencapai 70%. Hal ini diungkapkan oleh Direktur Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Lampung. Kerusakan hutang mangrove di Lampung diakibatkan oleh tingginya penebangan mangrove untuk memenuhi kebutuan ladang tambak udang.
Kerusakan terumbu
karang di lampung saat ini sudah mencapai lebih dari 30% seperti yang
diungkapkan oleh Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung. sedangkan untuk Provinsi Banten, tingkat kerusakan terumbu karang
mencapai hampir 45% dimana dari 1.433 hektare luas tutupan karang, 622
hektare telah mengalami kerusakan. Kerusakan terumbu karang sering diakibatkan
oleh pencemaran limbah industri, pembuangan sampah secara sembarangan dan juga
aktifitas diving dan snorkeling yang tidak ramah lingkungan.
Dari fenomena
tersebut menjadi catatan bagi kita bersama bahwa kepedulian masayarakat
Indonesia terhadap lingkungannya masih sangat rendah, utamanya masayarakat yang
sudah tersentuh modernisasi akibat berkembangnya kota dan pemukiman. Rumusnya
adalah tingginya angka korban materil dan non materil akibat suatu bencana
berbanding terbalik dengan rasa kepedulian kita terhadap lingkungan. Atau bisa
dikatakan, semakin rendah kepedulian kita kepada lingkungan, maka akan semakin
tinggi dampak buruk yang diakibatkan oleh sebuah bencana alam (Natural disasters).
Pertanyaannya, masihkah
kita akan acuh terhadap lingkungan? Silahkan dijawab sendiri…!
Sumber :
5 http://detiklampung.com/berita-3972-terumbu-karang-di-lampung-rusak-30-persen.html